Kebanyakan orang tua petani mendorong anaknya sekolah tinggi agar tak harus bermandikan keringat di ladang. Namun, di Desa Kanreapia, ladang justru menjadi jalan pintas untuk ekonomi. Hasil panen sayur memberi kepastian rupiah yang tak bisa dijanjikan selembar ijazah. Angin segar pendidikan perlahan datang dari sosok petani sarjana yang kembali ke desanya.

Desa Kanreapia tampak seperti permadani hijau yang tersusun rapi oleh aneka sayur, seperti daun bawang, sawi, dan seledri. Aktivitas panen telah dimulai sejak lereng Gunung Bawangkaraeng masih berselimut kabut. Obrolan petani di ladang terdengar samar, kalah dari suara mobil pengangkut sayur yang melewati jalan berlumpur.
“Hari ini, saya baru tahu bahwa daun bawang itu tidak ada bawangnya,” ujar Kahar, pengunjung desa yang baru pertama kali memanen daun bawang.
Sekitar 20 ton sayur mampu dipanen setiap hari. Distribusinya banyak ke Makassar, bahkan tembus Kalimantan, Maluku, dan Papua. Sejuknya udara pegunungan berpadu dengan aroma segar sayuran menjadi ciri khas Desa Kanreapia, kampung sayur terbesar di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Suburnya sayur di Kanreapia ternyata menutup mata anak petani bersekolah. Angka putus sekolah di desa ini tergolong tinggi. Mayoritas penduduknya hanya sampai jenjang sekolah dasar. Biaya bukan penyebab utama, melainkan pola pikir yang telanjur mengakar: tidak perlu pendidikan tinggi jika ujung-ujungnya menjadi petani.
Pola pikir tersebut mengundang gelisah bagi Jamaluddin Abu. Pemuda yang biasa disapa Jamal ini adalah sedikit dari anak petani Kanreapia yang memilih pulang kampung usai meraih gelar sarjana. Sejak saat itu, ia tak hanya kembali menanam sayur di ladang, tetapi juga mulai menabur literasi bagi anak-anak petani.
Jamal memilih bersahabat dengan tumpukan koran bekas untuk menemani gerakan literasi. Suara gesekan kertas terdengar lirih saat ia mulai membuka lembar demi lembar koran. Matanya menelisik dan tangannya bersiap menggunting bagian yang menarik dibaca. Hasil potongan koran kemudian ditempel satu per satu memenuhi dinding kayu. Begitulah caranya menyulap bekas kandang bebek menjadi Rumah Koran.

Dari gubuk berukuran 4 x 6 meter ini, anak petani Kanreapia belajar literasi dasar: baca tulis. Mereka bebas memilih koran yang ingin dibaca tanpa dipungut biaya. Jumlah kursinya terbatas sehingga terkadang tidak semua anak bisa duduk berlama-lama. Beberapa memilih berdiri menyusuri tempelan koran di dinding dengan penuh penasaran.
Jamal mengamati sambil mendengarkan anak-anak tersebut berlatih membaca. Beberapa sudah lancar, sebagian masih terbata-bata. Sesekali, ia berhenti lebih lama untuk memperkenalkan huruf, mengajari mengeja, atau memberi apresiasi. Inilah ikhtiar mengikis angka buta aksara di Kanreapia.

Juleha, salah satu pengajar di Rumah Koran, menceritakan perjuangan selama mengajar di sana. “Kendalanya ada pada fasilitas belajar mengajar. Anak-anak biasanya senang belajar sambil bermain dengan alat peraga, sementara alat peraga di Rumah Koran masih belum memadai,” ucap perempuan yang juga sebagai guru di PAUD Kanreapia.
Meski dengan segala keterbatasan, Juleha bangga melihat perkembangan anak-anak PAUD Rumah Koran. “Biasanya kami melihat data prestasi mereka setelah masuk SD. Alhamdulillah, anak-anak dari Rumah Koran bisa bersaing dengan anak-anak dari PAUD lainnya,” ucapnya penuh semangat.
Pengunjung Rumah Koran menjadi lebih beragam seiring dengan adanya program jelajah desa. Kalangan mahasiswa, dosen, maupun media pernah menjejakkan kaki di tanah subur Kanreapia. Selain berinteraksi langsung dengan petani, mereka bisa mencoba cangkul di ladang hingga merasakan sensasi memanen sayur sendiri. Desa Kanreapia mulai diminati untuk wisata edukasi.
“Mereka menghubungi melalui WhatsApp atau Instagram untuk membuat jadwal. Baru mereka datang keliling desa,” balas Jamal ketika ditanya cara ikut jelajah desa.

Alih-alih mendapat apresiasi, Jamal sempat banjir cibiran masyarakat. “Sarjana tempel koran,” demikian ejekan yang masih ia ingat saat awal Rumah Koran berdiri tahun 2014 silam.
Pemuda sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia ini memilih bertahan walau minim dukungan. Baginya, cibiran adalah bumbu perjuangan. Biarpun prosesnya pelan, ia berusaha konsisten berliterasi untuk memotivasi anak petani melanjutkan pendidikan tinggi.
“Ekonomi di desa saya itu cukup tinggi karena dengan bertani mudah mendapatkan uang. Akhirnya itu meruntuhkan semangat kita bersekolah,” ucap Jamal.
Pertanian menjadi tulang punggung ekonomi Desa Kanreapia. Hasil panen nyaris tak pernah mengecewakan, menjanjikan rupiah keuntungan. Meski tanpa gelar sarjana, petani Kanreapia sudah mampu panen puluhan ton sayur.
“Kalau begitu, mengapa petani harus berpendidikan?” tanya saya kepada Jamal.
Ia menghela napas pelan, lalu mulai bercerita bahwa selama ini jarang ada kualifikasi untuk menjadi petani. Siapa saja bisa melakukannya, bahkan tanpa pelatihan atau pengetahuan dasar.
“Sejak awal, tidak ada kualifikasi pendidikan untuk menjadi petani. Akhirnya yang melakukan kegiatan pertanian itu kurang maksimal,” kata pemuda bergelar magister Manajemen tahun 2014 tersebut.

Menurutnya, sentuhan petani berpendidikan dibutuhkan agar potensi pertanian di Kanreapia benar-benar maksimal. Masih ada celah-celah yang perlu diperbaiki: manajemen pertanian, promosi hingga teknologi.
“Ketika punya pendidikan, maka lebih mampu beradaptasi,” harapannya.
Pertanian hari ini tidak hanya mengandalkan otot, tetapi juga ditopang oleh wawasan luas, kekuatan relasi, dan kemampuan beradaptasi. Maka dari itu, menjadi petani bukanlah akhir dari pendidikan, justru menjadi alasan mengapa pendidikan diperlukan.
Bekal pendidikan turut memacu Jamal berani berinovasi. Ia mencoba membuat terobosan dalam pemasaran melalui akun Instagram @patanikanreapia. PATANI (pasar tani online) memfasilitasi pemesanan sayur dalam partai besar tanpa harus datang ke pasar. Cukup dengan menghubungi nomor admin yang tertera di Instagram, maka sayur pun akan dikirim sampai ke depan rumah. Kesegaran sayur? Terjamin, karena dipanen langsung dari ladang-ladang Kanreapia.

“Banyak yang menghubungi (nomor admin), tetapi banyak juga yang belum sesuai pesanan. Ada yang hanya memesan 1 atau 2 kg sayur sedangkan kami melayani partai besar,” ungkapnya menceritakan perkembangan pasar tani online.
Kebijakan pembelian dalam jumlah besar bukan tanpa alasan. Jarak ke kota yang memakan waktu sekitar dua jam membuat mereka harus menghitung efisiensi biaya dan tenaga setiap kali mengirim pesanan. “Hal ini akan terus diperbaiki agar semua bisa dilayani,” tambahnya.
Selain karena dorongan pengetahuan, Jamal meyakini pendidikan juga membentuk karakter petani yang berani bersuara. Di ruang kuliah, budaya berdiskusi dan berdebat ilmiah melatih mereka menyampaikan pendapat dengan percaya diri. Kebiasaan itu berguna ketika suara petani dibutuhkan dalam forum musyawarah atau dialog.
“Ketika sarjana yang terjun ke pertanian, kita bisa berani angkat tangan menyuarakan kebutuhan petani, seperti jalan tani, pupuk subsidi, dan lain-lain,” jelasnya menceritakan pengalamannya ikut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
Bagi Jamal, ekonomi yang mapan dari hasil tani seharusnya menjadi privilese untuk pendidikan alih-alih meruntuhkan semangat. Kini, pemuda berusia 37 tahun tersebut sedang menempuh studi doktoral Ekonomi Syariah di UIN Alauddin Makassar. Ia ingin keluar dari jebakan gelar. Tidak gengsi baginya kembali ke ladang meski banyak anggapan bukan level untuk seorang sarjana, apalagi calon doktor.
“Belum saya mendengar doktor yang melarat. Jika ada yang melarat, berarti itu dimulai dari saya,” katanya optimis.
Semangat Jamal untuk terus belajar rupanya menular kepada Aditya Iskar, salah satu relawan Rumah Koran. Aditya terpilih program magang ke Jepang yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian RI. Awalnya, ia pesimis melihat banyaknya pendaftar, tetapi dukungan dari Jamal turut menguatkan hingga bisa menimba ilmu pertanian di Jepang.

“Sebagai mentor, peran Pak Jamal sangat besar. Beliau mendampingi saya bahkan sampai ke dinas untuk mengambil surat rekomendasi dan masih banyak bantuan lainnya,” jawab Aditya.
Sejak tiba di Jepang pada April 2025 lalu, ia banyak belajar tentang pola pikir, budaya, dan teknologi pertanian. Lebih-lebih, ia mengagumi karakter petani Jepang yang selalu haus ilmu.
“Petani tempat saya magang sudah berusia 75 tahun, tetapi masih terus belajar. Di sini ada komputer, dan setiap kali saya melihat beliau menggunakannya, pasti yang dibuka adalah materi pembelajaran,” ungkap pemuda yang kini belajar di KOIBUCHI College of Agriculture and Nutrition dan praktik di Yokoyama Farm.
Perjuangan literasi masih panjang. Di sisi lain, permasalahan di Kanreapia tidak mungkin diselesaikan seorang diri. Jamal pun memilih berkolaborasi dengan pemerintah, kampus, organisasi, hingga swasta.
Tahun 2021 menjadi tonggak baru perjalanan literasi di Kanreapia. Desa ini terpilih menjadi bagian Kampung Berseri Astra (KBA). Di bawah pendampingan PT Astra International Tbk, Kanreapia tidak hanya fokus dalam hal pendidikan, tetapi juga mulai menata ulang wajah desanya pada pilar lingkungan, kesehatan, dan kewirausahaan.

Anak-anak TK Kanreapia akhirnya memiliki sanitasi yang layak berkat bantuan toilet dari Astra tahun 2023. “Sebelum ada toilet, anak-anak harus ke rumah warga untuk buang air kecil atau besar,” tutur Juleha, pengajar PAUD sekaligus TK di Kanreapia.
Para petani Kanreapia mendapat pendampingan agar usahanya makin tertata dan berdaya, mulai dari aspek legalitas hingga pemasaran. Mereka juga pernah diundang ke pameran yang digelar Astra untuk promosi produk pertanian Kanreapia.
Pada pilar lingkungan, Desa Kanreapia fokus pada pertanian berkelanjutan. Ada program menanam pohon, melindungi mata air, praktik pertanian organik hingga membangun embung pertanian. Semuanya berbasis peran aktif masyarakat. Mereka saling bergerak karena akar gerakan literasi ini dibangun secara partisipatif.

Embung pertanian adalah salah satu rahasia petani Kanreapia tetap produktif dan panen sayur sekalipun musim kemarau. Ada sekitar 100 embung pertanian, baik yang dibangun pemerintah maupun gotong royong masyarakat, sebagai sumber penyiraman.
“Air dari mata air dialirkan ke embung-embung itu. Biasanya sumbernya berada di kaki gunung. Malam hari air ditampung, lalu pagi hingga sore petani melakukan penyiraman. Dengan cara ini, mereka bisa menghemat air dan tenaga,” jelas Jamal.
Konsistensi masyarakat Kanreapia dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perlahan berbuah apresiasi. Berselang setahun setelah menjadi Kampung Berseri Astra, Desa Kanreapia menerima penghargaan Program Kampung Iklim (ProKlim) kategori Lestari oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hingga kini, Kanreapia masih menjadi satu-satunya kampung di Kabupaten Gowa yang mendapat penghargaan proklim kategori tertinggi.
Penghargaan pada tahun 2022 itu bukanlah garis finis. Masyarakat justru lebih bersemangat menjaga lingkungan sekaligus menolak anggapan bahwa Kanreapia mengejar pengakuan semata.
“Semangatnya makin membara seperti arti Kanrepia, yaitu api yang selalu menyala,” ungkap Jamal tentang kondisi masyarakat sekarang.
Terlebih lagi, ada komitmen dari Astra yang mendampingi Desa Kanreapia secara kontinu. Sejak 2021 hingga sekarang, dukungan nyata dari Astra mengalir dalam berbagai bentuk.
“Astra memiliki mentor-mentor yang disiapkan untuk kami (seluruh KBA di Indonesia). Ada ilmu, ada pendampingannya, dan termasuk pendanaannya,” tegas penerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 bidang Pendidikan tersebut.
Gerakan literasi di Kanreapia tumbuh dinamis dengan mulai menyentuh beragam persoalan. Salah satunya persoalan sampah. Kebiasaan membuang sampah rumah tangga ke sungai masih kerap dijumpai di desa ini.
“Posisi kita di hulu, sehingga bisa merusak hilir,” kata Jamal.
Membuang sampah sembarangan memang bukan hal baru, melainkan kebiasaan lama yang harus segera diputus. Untuk mengatasi hal tersebut, ia memilih pendekatan berbeda, yakni sekolah alam.
“Kita menjadikan tepi sungai sebagai tempat belajar dan baca buku. Ada kegiatan bersih-bersih sungai. Orang tua yang biasanya membuang sampah di situ mulai ada kesadaran karena anaknya ikut Rumah Koran,” jelasnya.
Anak-anak belajar mencintai sungai lewat kegiatan langsung di lapangan. Aktivitas sederhana yang justru menjadi bentuk peringatan halus bagi orang tua. Tanpa hukuman atau papan larangan, kesadaran menjaga lingkungan perlahan tumbuh karena teladan anak-anaknya.
Gerakan literasi juga bertransformasi menjadi program berbagi sayur yang dimulai ketika pandemi Covid-19. Jamal berharap petani Kanreapia menyisihkan sebagian hasil panen untuk disedekahkan. Semangatnya adalah mengajak, bukan memaksa.
Bak gayung bersambut, antusiasme petani yang ikut berbagi melampaui dugaan. Sejak tahun 2021, sekitar 100 ton sayur dari ladang Kanreapia sudah disalurkan ke lebih dari 100 pondok atau panti asuhan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Program berbagi sayur tidak hanya cermin dari kepedulian sosial, akan tetapi sekaligus bukti kesuburan tanah di Kanreapia sepanjang musim.
“Cara membuktikan tanah Kanreapia subur bukan dengan saya bicara saja, tetapi dengan gambaran youtube atau foto. Mobil berbeda, sayur berbeda, kemasan berbeda, dan panti asuhan juga berbeda-beda. Tidak mungkin bisa sedekah kalau tidak panen,” ungkap Jamal tanpa ragu.
Selain berbagi sayur, ia juga menggagas berbagi alat pertanian. Belum lama ini, ada program berbagi 100 caping yang mampu membawa kesan mendalam bagi petani Kanreapia.
“Walaupun dari hasil panen mereka bisa membeli lebih dari 10 caping sendiri, tetapi rasanya berbeda. Dengan melakukan gerakan kedekatan seperti ini, petani juga merasa bahwa kehadiran Rumah Koran ada untuk mereka,” katanya.

Semangat untuk saling berbagi bukan hal baru di Kanreapia. Budaya gotong royong telah lama menjadi modal sosial yang kuat di desa ini. Warga menyebutnya dengan istilah akkammisi, yakni tradisi kerja bakti yang digelar setiap hari Kamis sejak dekade 1980-an. Mulai dari memperbaiki saluran irigasi hingga membuka akses jalan tani. Semuanya dilakukan dengan semangat sukarela.
Selain dalam bentuk kerja bakti mingguan, budaya gotong royong juga ada pada musim tanam dan panen tiba. Dikenal dengan istilah sibali’i, sebuah budaya saling memanggil saat musim tanam dan panen. Upahnya? Tidak ada. Jika hari ini membantu menanam di ladang tetangga, besok giliran ladang sendiri yang dibantu.

Dalam ikatan sosial di Kanreapia, Jamal memilih membaur tanpa membangun tembok pemisah antara gelar sarjana dan ladang. Tidak datang membawa diktat pengetahuan, ia menyatu lewat obrolan di ladang untuk ‘belanja’ masalah.
“Ketika kunjungan ke lahan sudah siang, mereka (petani) memanggil kami untuk makan, minum kopi, kita berbaur dengan mereka. Duduk di tanah, berdiskusi. Mereka juga punya keinginan untuk difasilitasi oleh Rumah Koran,” tutur Jamal.
“Pak Jamal, siap-siap ke Dubai,” begitu informasi dari Astra pada tahun 2023.
“Ini Dubai asli atau bagaimana?” balas Jamal yang sempat tak percaya.
Kampung Berseri Astra Kanreapia ternyata menjadi salah satu contoh baik yang terpilih mengisi Paviliun Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP28) di Dubai. Jamal diundang mewakili desanya untuk menyampaikan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan masyarakat Kanreapia.

Pada panggung internasional tersebut, ia mengirim pesan: menghadapi krisis iklim perlu komitmen yang diwujudkan pada aksi nyata. Bukan tugas segelintir orang, tetapi gerak bersama berkolaborasi agar terus berdampak.
“Kolaborasi ada di tingkat mana pun maka kegiatan akan lebih mudah. Lebih maksimal untuk dilakukan melalui kebersamaan. Ibaratnya sapu lidi, kalau kita bersatu akan kuat untuk mengerjakan suatu pekerjaan,” ucapnya.

Jamal tampil tanpa kendala selama di Dubai. Di antara pilihan bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia, ia memilih presentasi menggunakan bahasa Indonesia. Alasan awalnya adalah ingin mempromosikan bahasa Indonesia di tingkat internasional.
“Kami tetap memilih Bahasa Indonesia agar diperdengarkan di tingkat internasional. Saya rasa cukup menarik untuk dipromosikan. Ternyata seperti ini Bahasa Indonesia,” ucapnya tersenyum mengingat pengalaman dua tahun lalu tersebut.
“Alasan sebenarnya karena keterbatasan dalam berbahasa Inggris mengingat kita bukan di daerah turis asing,” tambahnya dengan jujur.
Jamal, sama seperti kita, manusia biasa yang punya sisi kelemahan. Panggung ini bukan semata penguasaan bahasa, melainkan keberanian untuk tampil dengan percaya diri membangkitkan aksi bersama. Seingatnya, ada dua pertanyaan yang sempat masuk walau ia lupa asal negara penanya.
Koran cetak mulai terseok-seok di tengah gempuran media online yang kini mendominasi. Jamal menjadi kesulitan mencari koran bekas. Apakah itu artinya Rumah Koran akan berakhir?
Ia dan relawan Rumah Koran memilih beradaptasi. Dari mengumpulkan koran fisik berganti ke screenshot berita online. Tangkapan layar dari berbagai media kemudian dicetak dalam bentuk banner dan dipasang di Rumah Koran yang kedua, yang lebih luas dan mudah dijangkau.

“Banner memang tidak bisa diganti setiap waktu. Nuansa beritanya masih kelihatan, meskipun berita sendiri (tentang Kanreapia),” ujarnya sambil tertawa kecil. Medianya memang berbeda, akan tetapi misinya tetap sama: menjadi jendela informasi dan inspirasi bagi siapa saja yang datang berkunjung.
Adapun Rumah Koran pertama, yang bekas kandang bebek, tetap dipertahankan. Di sana, sesekali masih ada aktivitas menggunting dan menempel koran, terutama untuk mengganti bagian yang rusak.
Jamal punya impian. Rumah Koran yang pertama akan menjelma menjadi museum koran, tempat generasi mendatang masih bisa membaca, menyentuh, dan mencium aroma koran secara langsung. Tempat tersebut juga menjadi saksi bisu awal mula gerakan literasi yang sempat dipandang sebelah mata.
Sekarang, keberadaan Rumah Koran juga menjadi ruang pembelajaran sosial: tempat warga desa belajar percaya diri. Kedatangan wartawan yang dulu terasa menakutkan, kini disambut dengan senyuman.
“Dulu masyarakat ketika diwawancara mereka minder. Kami (Rumah Koran) melakukan edukasi bahwa yang ditanyakan seputar kegiatan mereka sendiri sehari-hari. Sekarang, ketika ada yang mau wawancara, mereka sudah enjoy (menikmati) menghadapi pertanyaan,” ucapnya
Permasalahan Desa Kanreapia belum sepenuhnya tuntas. Namun, Jamal mulai tersenyum melihat motivasi anak petani Kanreapia untuk bersekolah. “Angka-angka pendidikan sudah kelihatan walaupun belum bisa menyebutkan angka pastinya sebelum dan sesudahnya,” ujarnya.
Gerakan literasi di Kanreapia mampu tumbuh di tengah cibiran dan keterbatasan. Literasi tidak hanya baca tulis, melainkan bertransformasi menjadi kegiatan bersama: menjaga lingkungan dan kegiatan berbagi.
“Rumah Koran lahir dari anak petani dan besar di lingkungan pertanian. Memang ini berasal dari mereka,” jawab Jamal ketika ditanya cara menggerakan masyarakat.

Kampung Berseri Astra Kanreapia menjadi contoh merawat gotong royong untuk menyatukan gerak masyarakat. Sebagus apapun program yang direncanakan akan percuma jika tanpa kesadaran bersama. Kolaborasi menjadi kunci agar terus berdampak. Capaian penghargaan pun mudah mengikuti, bonus dari konsistensi.
Dukungan dari Astra layaknya pupuk yang menyuburkan gerakan literasi di Kanreapia. Bukan sekadar seremoni, ada pendampingan di pilar pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan yang menjadi wujud komitmen Astra untuk sejahtera bersama bangsa sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Jamal datang sebagai pengingat lembut bahwa petani bukan profesi kelas bawah. Petani setara dengan profesi lain yang sama pentingnya. Gelar sarjana atau doktor semestinya tidak membuat gengsi kembali ke ladang. Pendidikan adalah modal beradaptasi mengikuti perubahan zaman. Petani yang tidak hanya mengandalkan otot, tetapi juga strategi pemikiran.
#SatukanGerakTerusBerdampak
#KitaSATUIndonesia
***
Tulungagung, Jawa Timur