Nyala Lentera Pendidikan untuk Tunanetra


Lentera memang tidak seperti lampu yang menyala terang dengan hanya menekan tombol. Butuh minyak, sumbu dan api agar bisa memberi cahaya pada orang lain. Seperti Tutus Setiawan yang mampu menerangi orang lain di tengah keterbatasan penglihatan yang dimiliki. Maka motivasi dalam diri yang menjadi sumbu agar lentera dapat memancarkan cahaya inspirasi, ada api berasal dari kobaran semangat memperjuangkan hak tunanetra, sedang Astra ibarat minyak yang menjadi bahan bakar agar cahaya lentera tidak padam.


Dari pintu yang setengah terbuka, saya melihat Pak Tutus tengah serius berdiskusi dengan seorang pria. Sementara pagar masih terkunci, saya mengucap salam beberapa kali sebagai tanda kehadiran diri. 
“Mas Nizam, ya? Silahkan masuk, Mas!” Pak Tutus meraba pagar kemudian membuka kunci pagar sembari merekahkan senyuman hangat menyambut tamunya. “Kenalkan ini ada Mas Ismail, tunanetra baru dari Bali. Datang ke sini karena sudah bosan tinggal di Bali,” katanya diselingi tawa rendah sebagai pembuka obrolan pagi itu. Semangat positif tergambar jelas pada gurat wajahnya yang membuat saya ikut tersenyum.
Tutus Setiawan (37) adalah pendiri Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) bersama empat temannya sesama tunanetra yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi. Pada waktu luang setelah mengajar di SLB YPAB Surabaya, rumah dengan cat putih ini dimanfaatkan untuk mewadahi para penyandang tunanetra sebagai tempat berdiskusi, bimbingan belajar hingga pelatihan.
Perjalanan hidup para penyandang disabilitas (khususnya tunanetra) memang tergolong tidak mudah. Mereka seringkali menjadi korban dari diskriminasi pada hampir segala bidang mulai dari pekerjaan, aksesibilitas, bahkan dalam ranah pendidikan. Pak Tutus sendiri merupakan saksi hidup atas ketidakadilan yang banyak diderita tunanetra.
Dia menjelaskan, sekitar tahun 1997 hampir tidak ada sekolah setempat yang mau menerima tunanetra sebagai siswa. Beberapa penolakkan didasarkan pada alasan yang tidak logis, seperti “Kamu tidak bisa, kamu tunanetra. Tunanetra bisa apa?” cerita lulusan S2 Universitas Negeri Surabaya ini. Ungkapan semacam itu memang terkesan merendahkan dan menyakitkan bagi peyandang tunanetra, tetapi itulah realita yang sering terjadi di masyarakat.
Sekolah pada waktu itu sifatnya terintegrasi (belum inklusi) yang mengharuskan penyandang disabilitas menyesuaikan diri dengan sekolah. Bahkan pria kelahiran 6 September 1980 ini membuat kontrak dengan kepala sekolah yang isinya bersedia keluar dari sekolah jika selama satu caturwulan (semester) tidak bisa menerima pelajaran.
Sungguh di luar dugaan, ternyata Pak Tutus kecil saat itu dapat menerima pelajaran dengan sangat baik bahkan sempat meraih ranking pertama di kelasnya. “Sebenarnya saya bingung ngajar kamu, Tus. Ulangan lisan dan didengar semua siswa kamu bisa menjawab lima soal dengan benar semua. Wah, ternyata bisa ya!” ujarnya menirukan gaya bicara gurunya.

Berbagi cerita untuk menginspirasi (Dok. Pribadi)

Berdasarkan pengalaman tersebut, Pak Tutus semakin mantap bahwa para tunanetra butuh diberikan kesempatan bukan dikasihani. Ketika Jakarta dan Bandung sudah sangat maju, maka Surabaya harus segera bangkit memperjuangkan hak para penyandang tunanetra. Ia berprinsip bahwa menyuarakan keadilan itu tidak dapat dilakukan sendiri. Berkat perjuangan kerasnya dengan sesama peyandang tunanetra sekitar 10 orang (5 orang yang aktif) akhirnya sebuah lembaga bernama Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) dapat didirikan.
Pada awal tahun 2003, lembaga ini bernama “Perhimpunan Braille Muda Surabaya”. Kata ‘muda’ menjadi sebuah beban karena pasti suatu saat nanti para anggota dan pengurusnya juga akan tua. “Karena kita selamanya tidak muda, masa tua dibilang muda terus,” canda ayah dua anak ini. Oleh karena itu, lembaga tersebut berganti nama menjadi Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang pada 21 April 2007 sudah berstatus legal karena mendapatkan akta notaris dan izin Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BAKESBANGPOL). 
Perjuangan untuk bisa mendirikan sebuah lembaga tersebut sungguh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para pendiri secara sukarela beriuran Rp 20.000 per orang. Uang tersebut digunakan untuk membuat proposal lembaga, biaya fotokopi, administrasi hingga transportasi demi bisa mendirikan lembaga yang berbeda dengan yang lain ini.
Lembaga Pemberdayaan Tunanetra ini memiliki dua markas. Markas pertama adalah rumah Pak Tutus yang beralamat di Jln. Karah Gang 5C No 15 Surabaya. Akses menuju lokasi memerlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan dari pusat kota kemudian memasuki gang-gang kecil hingga mencapai rumah berlantai dua ini. Sedangkan lokasi kedua berada di Kelurahan Ploso Surabaya sebagai kesekretariatan.
Secara umum, Lembaga Pemberdayaan Tunanetra ini memiliki tiga program utama, yaitu pendidikan  & pelatihan, advokasi, dan riset. 
Infografis
LPT, akronim dari Lembaga Pemberdayaan Tunanetra, memberikan bimbingan belajar bagi siswa-siswi tunanetra di sekolah luar biasa dan sekolah inklusi. Hal tersebut dilakukan Pak Tutus lantaran selama ini sulit menemukan tempat kursus atau bimbel yang mau mengajar para penyandang tunanetra. “Sulit mas, bahkan tidak ada. Apalagi kebanyakan tunanetra dari ekonomi menengah ke bawah. Kalaupun punya uang, guru les juga bingung mau mengajar mereka. Maka dari itu kami membuka bimbingan belajar,” katanya. Dia juga menambahkan setidaknya sudah lebih dari seribu tunanetra berkunjung ke LPT.
Disamping bimbingan belajar, LPT juga rutin menggelar pelatihan-pelatihan yang diklaim pertama kali di Jawa Timur untuk tunanetra. Mulai dari komputer bicara, jurnalistik, operator telepon dan presenter tunanetra. Semua itu dilakukan agar tunanetra memiliki skills yang mumpuni dan diharapkan tidak hanya bekerja di sektor informal. Meskipun demikian, masih ditemukan diskriminasi dalam pekerjaan, salah satunya dialami saat melamar menjadi penyiar radio. “Belum dicoba ngomong (siaran) langsung ditolak, padahal kami pengen diberikan kesempatan buat mencoba dulu,” ungkapnya dengan lirih.
Diskriminasi demi diskriminasi semakin menyulut semangat Pak Tutus. Beragam kegiatan terus digelar untuk menunjukkan eksistensi lembaga ini di mata masyarakat. Salah satu workshop paling fenomenal pernah digelar bertema “Tenaga Kerja Penyandang cacat” pada 2007 bekerjasama dengan Handicap International, Uni Eropa dan dan Irish Aid. Acara tersebut mendapatkan respon positif dari sesama penyandang disabilitas dan DPRD Kota Surabaya.

“Dulu masih banyak yang meragukan apa lembaga ini bisa eksis, namun ternyata sekarang berhasil ya,” jelasnya dengan bangga. “Kegiatan yang kami lakukan selalu booming Mas, kami juga punya jaringan di AJI (Aliansi Jurnalis Independen),” imbuhnya.

Program kedua adalah advokasi yang berarti LPT memberikan pendampingan advokasi bagi penyandang tunanetra untuk mendapatkan haknya, khususnya dalam bidang pendidikan. Cukup miris memang ketika masih banyak sekolah inklusi yang enggan menerima tunanetra sebagai anak didiknya. Padahal undang-undang sudah menjamin hak tersebut.

“Kalau ada yang mendaftar di sekolah inklusi tapi tidak diterima, maka bisa melapor ke kami. Kami akan menghubungi guru dan kepala sekolah secara langsung. Kalau perlu akan kami adukan ke KPP (Komisi Pelayanan Publik),” ungkapnya dengan nada kesal.

Program ketiga adalah riset yang berfokus pada pengkajian sarana dan prasana bagi peyandang disabilitas. LPT banyak menyoroti trotoar yang masih belum layak bagi tunanetra karena belum sesuai dengan Perpu PU No 30 2006. “Hasil dari riset kami ajukan ke pemerintah sebagai bahan masukan ke depan,” katanya.
Keuletan dan ketulusan Pak Tutus dan rekan-rekan berhasil mengantarkan anak didiknya berprestasi baik tingkat lokal, nasional dan internasional. Ada seorang Juara 1 Olimpiade SLB Nasional, Juara II dalam ajang Global IT Challenge di Jakarta atas nama Alfian Andhika yang sekarang menjadi mahasiswa tunanetra pertama di Universitas Airlangga, ada pula Juara 1 Esai Asia Pasifik 2012 yang diraih oleh sang istri yang dulu menjadi muridnya dan masih banyak segudang prestasi lain membanggakan.
Alfian Andhika salah satu bimbingan Pak Tutus yang berprestasi
(Sumber foto: Alfian Andhika Yudhistira/Facebook)
Meskipun demikian, Pak Tutus tidak pernah mengklaim bahwa prestasi yang diraih anak didiknya tersebut semata-mata berkat LPT saja. “Kami tidak mengakui bahwa keberhasilan mereka murni dari kami. Kalau seperti itu namanya sombong sekali, hehehe,” canda Pak Tutus.
Prestasi yang demikian banyaknya tak lantas membuat Pak Tutus jemawa. Memang penghargaan di atas kertas itu penting, namun sejatinya ia justru lebih bangga jika berhasil membuat cara fikir anak dan orang tua berubah. Artinya, jika dulunya ada anak tunanetra yang terkekang oleh orang tua, setelah bergabung di LPT ternyata mereka bisa terlepas (mandiri) maka sejatinya itu juga termasuk prestasi.
“Bagi saya, jauh lebih bangga jika berhasil membuka cara fikir keluarga maupun anak disabilitas khususnya tunanetra. Banyak anak tunanetra ketergantungan pada orang tua karena orang tuanya terlalu proteksi. Seorang tunanetra tidak bisa menjalani hidup bebas tanpa lepas secara utuh dari orang tua,” ungkapnya.
Ini menjadi sebab bagi Pak Tutus dan kawan-kawan tidak hanya memberikan edukasi pada peyandang tunanetra saja, melainkan juga pada orang tua, mahasiswa dan akademisi untuk menciptakan iklim yang ramah disabilitas. Meminjam kata-kata dari Pak Tutus kembali, maka seharusnya tunanetra butuh diberikan kesempatan bukan dikasihani.
Perlu digarisbawahi juga bahwa para pengurus LPT ini sama sekali tidak memungut biaya atau mendapat gaji dari lembaga ini. Inilah uniknya lembaga ini dibanding lembaga pada umumnya karena tidak profit oriented. Gerakan ini murni secara sukerela dan karena adanya semangat bersatu dalam memperjuangkan hak-hak para tunanetra, hak yang sama sebagaimana manusia normal yang juga dijamin oleh negara.
Sebagai perusahaan multinasional, PT Astra International Tbk menyadari bahwa pendidikan merupakan pilar penting dalam pembangunan bangsa, apalagi selama ini penyadang disabilitas kurang mendapatkan keadilan dalam ihwal pendidikan. Lantas kiprah Pak Tutus dalam memperjuangkan pendidikan bagi para penyandang tunanetra mendapat apresiasi dari Astra sebagai penerima SATU Indonesia Awards 2015 dalam bidang pendidikan.

“Astra hadir memberikan support dan sebagai orang tua asuh bagi kami,” katanya. “Saat mendapatkan penghargaan itu, kami mendapat uang 55 juta rupiah. Uang tersebut kami gunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti workshop, outbound dan membeli satu laptop,” imbuhnya sambil menunjukkan laptop.

Pak Tutus sedang mencoba laptop bicara (Dok. Pribadi)
Ketika teriknya matahari semakin terasa, saya pun diajak naik ke lantai dua rumah Pak Tutus. Ia memandu di depan diikuti Mas Ismail yang memegang pundaknya. Saya yang baru pertama kali mampir hanya mengikuti saja dari belakang. Melihat ia begitu cepat seolah seperti sudah hafal dengan seluk beluk rumahnya ini. Dan ketika sudah berada di lantai dua, maka saya cukup terkejut dengan beragam fasilitas yang ada.
Beberapa fasilitas yang terdapat di Lembaga Pemberdayaan Tuannetra (Dok. Pribadi)
Pada lantai dua ini, tidak terlalu luas namun cukup memanjang, menjadi pusat dari segala kegiatan. Ada mesin ketik braille yang masih dapat digunakan untuk mengetik huruf braille, ada pula papan catur khusus tunanetra, komputer bicara dan peta dunia timbul dengan harga ratusan ribu. Juga pada dinding-dinding ditemukan beragam penghargaan yang dipanjang salah satunya dari SATU Indonesia Awards 2015.
Penghargaan dari Walikota Surabaya dan SATU Indonesia Awards 2015 (Dok. Pribadi)
Selain itu, ada perpustakaan audio yang berisi kumpulan CD audio dari buku pelajaran, novel dan buku perkuliahan. “Sekarang fasilitas untuk tunanetra sudah banyak, kalau anak tunanetra masih kurang berprestasi, salah tunanetranya itu sendiri,” tandasnya sambil menunjukkan koleksi CD yang jumlahnya hampir 1000 keping.
Itulah yang membut Pak Tutus iri lantaran ketika ia masih kecil hanya mengandalkan teman yang kurang ikhlas dalam membacakan buku dan Ibu yang telaten merekam suara menggunakan tape recorder. Sekarang hadirnya perpustakaan audio ini, anak-anak dan mahasiswa tunanetra bebas meminjam dan menyalin tanpa dikenakan biaya seperserpun.

Rupa koleksi perpustakaan audio (Dok. Pribadi)

Dia menceritakan, beberapa kali diundang untuk hadir dan mengikuti event yang digelar oleh Astra. Seperti pada 23 Juli 2017 dalam gelaran Astra 60 Surabaya, maka Pak Tutus hadir di Kampung Berseri Astra (KBA Keputih) untuk memberikan pelatihan menulis huruf braille sekaligus menunjukkan eksistensi adanya lembaga yang dibina oleh Astra yang berfokus pada pendidikan bagi tunanetra.

Pak Tutus saat di Kampung Berseri Astra Keputih Surabaya (Sumber foto: Lucky Caesar Direstiyani/Facebok)
Pada bulan Oktober 2017 lalu Pak Tutus bersama seorang pengurus LPT diminta Astra untuk datang ke Jakarta dalam rangka memberikan pelatihan komputer bicara kepada 25 orang tunanetra di Kantor Astra. Pelatihan tersebut adalah wujud keberpihakan Astra dalam mengupayakan peyandang tunanetra yang punya kapasitas mumpuni sehingga mampu bersaing dalam dunia kerja. Pada beberapa kantor Astra sendiri juga telah mempekerjakan peyandang disabilitas. “Kemarin itu ada petugas SATU Indonesia Awards yang juga tunanetra di Jakarta,” ingatnya.
Komitmen Astra dalam bidang pendidikan ini memang selaras dengan salah satu butir Catur Dharma perusahaan yaitu bermanfaat bagi bangsa dan negara (to be an asset of the nation). Di mana pun Astra berada harus memberikan kemanfaatan bagi sekitar, tanpa terkecuali bagi penyandang tunanetra. 
Perjuangan belum berakhir (Dok. Pribadi)
Sekarang, nyala lentera pendidikan untuk tunanetra semakin terang. Pak Tutus dan teman-teman di LPT telah menjadi bukti apresiasi yang diberikan Astra demi membuka asa pendidikan bagi tunanetra. Perjalanan 60 tahun Astra yang memiliki komitmen pada kemajuan pendidikan bangsa. Secara nyata, Astra telah menyentuh lapisan masyarakat yang sering diabaikan, tunanetra, untuk memperjuangkan hak-haknya seperti manusia lainnya. Terima kasih Astra yang telah enam dekade memberikan inspirasi untuk Indonesia. Teruslah berkontribusi dan menginspirasi, ASTRA !

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Anugerah Pewarta Astra 2017
Tulisan lainnya :
Chat WhatsApp
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!