PERANAN USHUL FIQIH DALAM PENGEMBANGAN FIQIH ISLAM

PERANAN USHUL FIQIH
DALAM PENGEMBANGAN FIQIH ISLAM
Dapat dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqih  itu terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ushul fiqih karena banyak ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqih yang menjadio standar dan rujukan untuk perkembangan ushul fiqih selanjutnya (As-Sa’di: 24-28)
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar. [1]
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang mempelajari Fiqih Islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam mazhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjihdan men-takhrij pendapat madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath.(Al-Amidi, 1:1)
Sebagaiman telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dikodifikasikannya, dan ditetapkan kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahidterhadap kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap ber-ijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. (Umar Abdullah : 23). Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu pula untuk main-main dalam hukum syara’ dapat dihindari.
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu Ushul  al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dail  syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat  amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta  bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung  di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa  yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada  rumusan itu.       
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqih sebagaimana telah dijelaskan diatas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang lalu, dan manusian sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab fiqih, hal ini berarti dari ilmu ushul fiqih tidak tercapai.
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah berdasar dalil syara’. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa kembali lagi sebagaimana di masa Aminat Al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam ber-ijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat ber-ijtihad.[2]
Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqih selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih. Dan bagi mujtahid  madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhab-nya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak men-tarjih pendapat imam madzhab-nya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqih sebab tanpa engetahui ilmu tersebut, ia tidak mungkin dapat men-tarjih  dengan baik dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam mengistimbathkan hokum dari al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbathkan hokum sebagai berikut: Al-Qur’an, Hadist, fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat, fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan. Sedangkan Imam Malik, berpegang kepada Al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistimbathkan hokum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahlul Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi’I dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus buat pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlul hadist yang bermarkas di Madinah dengan ahlul Ro’yi di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistimbathkan hokum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.[3]
Para Imam Mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil yang masing-masing Mazhab menambahkan metode istimbat hokum lainnya. Misalnya, ulama’ ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul fiqh imam syafi’I, tetapi mereka menambah metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘Uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama’ ushul fiqh Malikiyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambahkan Ijma’ ahlul Madinah karena statusijma’ ahlul Madinah merupakan sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasullullah SAW sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama’ Malikiyah menambahkan metode Maslahatul Mursalah dan Sadd al-Zari’ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Mazhab empat tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing

Dengan demikian, peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukmu syara’ dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu khaldun dan kitabnya Muqaddamah berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya,” (Ibnu Khaldun : 0452)
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya.
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dadalah lafazh yang terdapat dalam nash syara’, terutama dalam Al-Qur’an. [4]

DAFTAR PUSTAKA
Nazar Bakhry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Rajawali Pers, Jakarta: 1993.
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta: 1972.
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1998.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House, 1996.
Drs. Nazar Bakhry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993),
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1972),
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus)
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Fakhrudin al-Razi, Manaqib al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah, ttt, hal.1-9. lihat juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House, 1996.

[1] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 43.
[2] Rahmat Syafi’i,  Loc., cit. Hal, 44-45.
[3]Fakhrudin al-Razi, Manaqib al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah, ttt, hal.1-9. lihat juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House, 1996. hal.9-11.
[4]Fakhrudin al-Razi, Manaqib al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah, ttt, hal.1-9. lihat juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House, 1996. hal. 45
Tulisan lainnya :
Chat WhatsApp
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!