Bukan Ranu Kumbolo Tapi Ranu Gumbolo

“Nak, mau kemana? masuknya sebelah sana,” tegur Ibu penjual bakso sambil menunjuk jari. 

Lima cowok Tulungagung tulen dibuat malu gara-gara salah jalur menuju pintu masuk tempat wisata di daerahnya sendiri. Apakah ini sebuah kewajaran di tengah mencuatnya beragam tempat wisata alam di Tulungagung? Hahaha, bisa jadi. Sekalipun Tulungagung lebih terkenal dengan batu marmer yang telah mendunia, nyatanya masih menyimpan ‘surga’ yang wajib kalian kunjungi saat mampir ke Kota Marmer. Salah satunya adalah Ranu Gumbolo. 

Mendengar kata Ranu Gumbolo, maka agaknya mirip dengan Ranu Kumbolo yang ada di Semeru. Nah, Ranu Kumbolo KW atau Ranu Gumbolo ini menurut saya memang ada sedikit kesamaan dengan aslinya. Mulai dari warna air danaunya yang sama hijau kebiruan dan kesamaan tata letak pegunungan. Terlepas dari itu semua, saya sebagai warga Tulungagung merasa bangga memiliki sebuah spot wisata alam yang memanjakan mata dan jauh dari keramaian kota.

Ranu Kumbolo (kiri) dan Ranu Gumbolo (kanan)

Ranu Gumbolo berada di sekitar Waduk Wonorejo tepatnya di Desa Wonorejo, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Dari pusat kota Tulungagung berjarak sekitar 24 km dengan jalur yang relatif mudah. Mungkin agak sedikit tidak nyaman saat melewati aspal yang rusak. Perjalanan dari pusat kota ditempuh kurang lebih sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan akan disuguhkan dengan hijaunya persawahan dan gunung-gunung yang tinggi menjulang.

Rute menuju lokasi cukup ikuti petunjuk jalan ke arah Wonorejo sampai pintu masuk Waduk Wonorejo. Jika menemukan SD, ambil jalur kanan sampai ada pertigaan (petunjuk arah jika lurus ke arah Waduk Wonorejo). Nah, di pertigaan itu belok kanan kemudian ikuti jalan sampai tempat parkir Ranu Gumbolo.

Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk dapat masuk lokasi ini. Kami yang menggunakan sepeda motor dikenakan tarif parkir Rp 2.000 per motor, sedangkan untuk tiket masuk membayar Rp 5.000 per orang. Relatif murah, bukan? Sebanding dengan suguhan pemandangan yang menyegarkan mata, udara yang segar dan ketenangan hati. Cocok sekali untuk mencari inspirasi menulis atau sekedar membaca buku.

Rupa tiket masuk

Sebagaimana peribahasa di mana bumi di pijak disitu langit dijunjung, maka di Ranu Gumbolo ini juga ada beberapa aturan yang harus ditaati. Bagi yang jomblo tak perlu bersedih hati karena kalian masih boleh masuk. Tapi di Ranu Gumbolo dilarang keras untuk membawa dan menggunakan narkoba, miras dan sejenisnya, serta tidak diperkenankan melakukan perbuatan asusila dan nuansa SARA. Ranu Gumbolo bukan tempat yang cocok untuk berbuat kejahatan. Biarkan para pengunjung bercengkrama dengan alam tanpa ada keributan. Hormat menghormati menjadi tabiat yang apik saat berwisata di alam seperti ini.

Memasuki kawasan Ranu Gumbolo, maka kicauan burung sesekali merayu kami untuk masuk lebih dalam lagi. Dari sela-sela pepohonan, kami melangkah mengikuti jalan beton menuju danau warna hijau kebiruan itu. Teriknya matahari tak begitu terasa karena rindangnya pohon pinus. Angin sepoi-sepoi itu juga berhasil menggagalkan ketiak basah yang kerap jadi ancaman saat travelling. Saya yang salah kostum karena mengenakan kemeja lengan panjang pun masih merasa nyaman.

Pohon pinus dan rumah gubuk

“Ayo cah, numpak perahu (Ayo teman, naik perahu)” ajak Yosi, teman kami yang hobi selfie itu.

Selain duduk manja di antara sela pohon pinus atau tidur-tiduran di gubuk, maka pengunjung dapat menikmati wahana perahu yang disediakan. Sayangnya perahu ini hanya muat empat orang dewasa saja dengan tarif Rp 15.000/perahu/jam. Kami yang berlima akhirnya memilih siapa saja yang naik perahu, sedang satu orang dari kami menjaga tas sambil bertugas memfoto. Owh ya, sebelumnya naik diharuskan mengenakan baju pelampung biar aman ya, bro!

“Jangan ke tengah-tengah ya, mas! anginnya kalau siang kencang,” pesan Bapak penjaga perahu itu.

Kehebohan demi kehebohan tersaji dalam perahu. Saat itu, empat mahasiswa ini begitu histeris saat perahu hampir terbalik karena terpaan angin yang begitu kencang. Keseimbangan juga tidak dalam kondisi bagus. Mau tidak mau kami harus bertukar posisi di tengah danau agar tak makin banyak air yang masuk perahu.

Setelah mendapatkan formasi terbaik, barulah kami dapat berfoto wefie di tengah danau sembari mengayun pedal perahu. Bentangan pegunungan dan hijaunya air serasa menyegarkan mata. Sesekali saya mencelupkan tangan ke danau. Berada di posisi ini, jujur saya seperti kembali ke masa kecil lagi. Kami bisa tertawa lepas tanpa beban dan jauh dari hingar bingar perkotaan. Mungkin ini yang dinamakan main bareng bukan jaim bareng. Sungguh momen sederhana yang sulit dilupakan.

Wefie di tengah danau

Jarum jam telah menunjukkan pukul 12:05 WIB. Artinya, sudah masuk waktu sholat dhuhur. Kata temanku, di pojok sana ada mushola lengkap dengan tempat wudhunya. Benar, ternyata ada tempat sholat yang tidak begitu luas sekitar lima meter persegi beralaskan kayu. Dari sudut tempat ibadah ini, kami juga bisa mengintip bagaimana indahnya alam Ranu Gumbolo. Ibadah pun terasa lebih khusyu’ karena takjub dengan kuasa-Nya. Liburan bukan halangan untuk beribadah. Jangan sampai kita terlalu menanggumi ciptaan-Nya tapi lupa bersujud pada Sang Pencipta. Sepakat?

Sensasi sholat di alam

Untuk urusan perut juga tak perlu khawatir, sob. Ada beberapa warung yang berdiri di dekat pintu masuk. Para pedagang sangat ramah menawari aneka menu andalannya. Jangan bosan untuk menerima ajakan mampir karena itu merupakan perwujudan keramahan penduduk lokal Tulungagung.

Mulai dari bakso, soto ayam, mie ayam, pentol, es degan dan aneka minuman lainnya siap jadi penghilang lapar. Harga kaki lima rasa bintang lima. Saya sendiri lebih memilih makan mie ayam sambil melihat hijaunya alam dan rindangnya pohon pinus.

“Eh itu udah sepi tuh, ayo ke sana,” ajakku setelah dengan sabar menunggu orang antre berfoto dari kejauhan. 

Lumrahnya setiap datang ke tempat wisata adalah mencari spot instagramable, kan? Tenang-tenang, ada banyak spot foto kekinian yang dapat kalian gunakan. Tapi jika sedang ramai, maka haruslah ekstra bersabar menunggu pengunjung ganti bergantian berfoto.

Ada tulisan “Ranu Gumbolo Tulungagung” yang terbuat dari kayu bisa jadi ajang eksis di media sosial. Atau jika mau naik sedikit ke bukit maka ada spot foto di atas pohon dengan latar gunung dan danau Ranu Gumbolo. Silahkan berfoto sepuasnya dan upload di media sosial sebagai bentuk upaya kita mempromosikan keindahan alam Indonesia. Sebuah langkah generasi zaman now yang dibenarkan.

Pose belum siap difoto

Wisata Ranu Gumbolo ini memang relatif baru karena mulai dibuka sekitar tahun 2016 lalu. Para turis lokal dan luar negeri mungkin lebih akrab dengan Waduk Wonorejo ketimbang Ranu Gumbolo. Dengan lokasi yang satu arah tersebut, maka sejatinya Ranu Gumbolo dapat menjadi destinasi yang dapat dikunjungi setelah atau sebelum ke Waduk Wonorejo. Menjadi referensi wisata menarik bagi mereka pecinta alam penggunungan dan danau.

Bagaimana sob? tertarik untuk menjejakkan kaki di Ranu Kumbolo KW ini? Segera agendakan bersama teman-temanmu. Ranu Gumbolo buka setiap hari mulai dari Jam 06.30 sampai 17.00 WIB. Bawalah lotion anti nyamuk karena lumayan banyak nyamuk di sana. Saat musim hujan, saya sarankan sedia payung sebelum hujan. Dan yang paling penting adalah jangan meninggalkan sampah saat travelling ke mana pun, termasuk di Ranu Gumbolo ini. Mari jaga alam supaya lestari sehingga anak cucu kita dapat menikmati dan menyaksikan indahnya Ranu Gumbolo.

Tak perlu melancong ke Semeru untuk menikmati Ranu Kumbolo jika di Tulungagung ada Ranu Gumbolo yang tak kalah indahnya.

Tulisan lainnya :
Chat WhatsApp
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!