Kolaborasi Milenial adalah Kunci Implementasi SDGs

Baru-baru ini, muncul sebuah instastory alumni UI yang menolak gaji 8 juta. Respon publik pun beragam. Ada pihak yang pro, ada pula pihak kontra. Saya tak bermaksud mencari benar atau salah. Di sini, saya menemukan kecenderungan pola pikir (mindset) generasi milenial hari ini yaitu mencari kerja alih-alih menciptakan lapangan kerja. 

Sebenarnya, bukan hal yang mustahil bagi milenial untuk menciptakan lapangan kerja sendiri dan untuk orang lain. Itu adalah salah satu peran generasi milenial dalam implementasi Sustaibanle Development Goals (SGDs) pada poin menghapus kemiskininan, mengurangi ketimpangan serta pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.

SDGs sendiri berisi 17 tujuan guna mengakhiri segala bentuk kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs ini berlaku bagi seluruh negara (universal), termasuk Indonesia.

Lantas, bagaimana peran milenial sesungguhnya dalam impelementasi Sustaibanle Development Goals?

Milenial, milenial dan milenial. Membahas generasi yang disebut echo boomers ini memang selalu menarik. Istilah generasi milenial merujuk pada generasi yang lahir tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Generasi ini digadang-gadang menjadi garda terdepan dalam mengatasi problematika sosial yang ada di Indonesia.
Ada beberapa karakter yang melekat pada generasi milenial sehingga membedakan dengan generasi sebelum atau sesudahnya. Salah satu karakternya adalah kritis terhadap fenomena sosial. Mereka akan mengomentari atau membuat opini jika ada fenomena sosial yang menarik perhatian sekalipun melalui media sosial. Kritis terhadap fenomena sosial tentu adalah baik sampai batas-batas tertentu. Artinya, mereka tak hanya sekadar mengomentari yang menjurus ke nyinyir namun juga mampu memberikan solusi atas permasalahan yang ada.

Saat saya dan teman mahasiswa melakukan bakti sosial bersama pelajar di Bangkalan, Madura.

Generasi milenial juga dikenal suka berbagi dan bekerja sama. Pada berbagai kesempatan, banyak komunitas anak muda yang produktif dalam membagikan ilmu dan karya mereka. Milenial yang punya passion sebagai pengajar, misalnya, mereka dapat datang ke daerah-daerah yang memang masih kurang ihwal pendidikan. Meskipun terkesan sederhana tapi hal tersebut adalah contoh tindakan nyata.

Jika dikaitkan dengan Sustaibanle Development Goals, sebenarnya generasi milenial memiliki peran yang sangat strategis. Saya percaya jika setiap milenial punya kapasitas masing-masing yang turut berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Itu sebabnya, mereka perlu berkolaborasi. 

Artinya, mereka yang berasal dari beragam latar belakang baik pendidikan, kemampuan, bakat atau passion dapat saling bersinergi menyatukan energi membangun negeri. Pasalnya, kolaborasi di zaman sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Sudah saatnya bergandengan tangan untuk menggapai tujuan yang sama: mengakhiri segala bentuk kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.

Tak perlu muluk-muluk. Generasi milenial dapat berkontribusi sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, atau bakat yang dimiliki. 

Contohnya, para sarjana yang telah merantau ke kota dapat kembali ke desanya untuk berkolaborasi dengan masyarakat desa. Jika ia sarjana Pendidikan, misalnya, dapat membangun dan meningkatkan mutu pendidikan yang inklusif, berkualitas dan mendukung kesempatan belajar seumur hidup. Sebagaimana tujuan poin ke-4 dari SDGs yakni pendidikan bermutu.

Kolaborasi dengan teman-teman untuk membantu pendidikan di Bangkalan, Madura.

Contoh lain yang lebih konkrit adalah Gamal Albinsaid. Salah satu contoh milenial yang peka terhadap tingginya biaya kesehatan dan dibarengi dengan banyaknya jumlah sampah. Ia menggagas sebuah Klinik Asuransi Sampah dan Sampah yang kini dikenal dunia.

Dan masih banyak contoh-contoh lain yang patut diteladani generasi milenial zaman sekarang.

Pada dasarnya, generasi milenial memang punya banyak ide kreatif yang butuh untuk dieksekusi. Nah, agar ide itu tak hanya mengendap di otak maka perlu komunikasi dan kolaborasi. Intinya, jangan terlalu lama mikir, milenial harus berani action. 

Tumbuhkan kesadaran masing-masing bahwa kita adalah makhluk sosial. Tak ada manusia yang sempurna, maka berkolaborasi menjadi solusi agar kekurangan dapat diminimalkan.

Kolaborasi ini tak hanya dengan sesama milenial tetapi juga pihak (stake holders) lain seperti masyarakat sekitar, pemerintah, akademisi dan swasta.

Lagi pula, Indonesia tak kekurangan orang pintar. Indonesia butuh orang yang mau berkontribusi sekecil apapun itu. Dimulai dari kesadaran diri sendiri, menjadi contoh untuk orang lain dan saling bersinergi untuk menyelesaikan permasalahan bersama.

Indonesia terlalu luas jika dikerjakan sendirian.

*) tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Unsyiah Research Festival 2019

Tulisan lainnya :
Chat WhatsApp
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!