SEJARAH TAFSIR AL-QUR’AN

SEJARAH TAFSIR AL-QUR’AN – Untuk menambah kecintaan kita terhadap Al Qur’an setidaknya kita bisa memulainya dengan mengetahui Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Mulai dari Periode Nabi Muhammad, Periode Sahabat, Periode Tabiin hingga tadwin (pembukuan). Harapannya kita dapat lebih semangat dalam mempelajari Tafsir Al Quran karena mengetahui bagaimana perjuangan, perkembangan tafsir pada zaman dulu. Akhirnya semoga penjelasan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.


A.        Deskripsi Sejarah Tafsir Al-Qur’an Periode Nabi Muhammad
Di dalam sejarah peradaban Islam khususnya sejarah tafsir al-Qur’an pada dasarnya al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur tidak seluruh ayat yang diturunkan kepada Rasululloh SAW dapat dipahami dengan mudah oleh para sahabat. Beliaulah yang menerangkannya berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah SWT, kemudian menjelaskannya dengan bahasa beliau sendiri. Penjelasan kitab suci ini bukan buah pikiran Rasul, melainkan bersumber dari wahyu, meskipun beliau menyampaikannya dengan bahasa sendiri.
Allah SWT berfirman dalam QS.An-Najm : 3-4 yang berarti : dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)
Penjelasan di atas membawa dua konsekuensi yang tegas : Pertama, setiap penafsiran al-Qur’an hendaklah lebih dahulu memerhatikan keterangan-keterangan yang beliau berikan, kemudian baru diterangkan dengan logika dan rasio. Kedua, Nabi Muhammad SAW merupakan pemegang otoritas tunggal sebagai penafsir dan penjelas al-Qur’an di masa kerasulan. Kemudian setelah belaiu wafat, ulama sahabat tampil menggantikan fungsi Rasululloh SAW sebagai penafsir al-Qur’an. Dengan demikian, hendaknya penafsiran al-Qur’an itu menjadikan keterangan sahabat sebagai pegangan sesudah penafsiran Rasululloh SAW.
B.        Deskripsi Sejarah Tafsir al-Qur’an Periode Sahabat
Sejarah tafsir al-qur’an pada masa sahabat ada perbedaan yang segnifikan dengan pada masa Rasulullah SAW dikarenakan pada sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis besar. Mereka tidak memiliki pemahaman yang detil tentang ayat-ayat al-Qur’an, lantaran mereka mengetahui bahasa al-Qur’an. Sebaliknya, mereka harus melakukan penelitian dan merujuk kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, tingkatan pemahaman para sahabat terhadap al-qur’an tidak sama. Buktinya, ketika ’Umar bin Khattab naik mimbar dan membaca firman Allah SWT : ”wa fakihatan wa abban”, maka beliau bertanya tentang makna kata abban.
Ibnu ’Abbas yang bergelar Tarjuman al-Qur’an pun tidak mengetahui kata Fatir kecuali setelah mendengar dari orang lain. Banyak sahabat yang dibekali Rasulullah SAW dengan ilmu al-Qur’an, dan ada pula yang akrab bergaul dengan Rasulullah SAW, sehingga banyak diantara mereka menjadi mufasir di kalangan sahabat.
Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir, yaitu
1.       Abu bakar as-Siddiq (573 M – 634 M)
2.       Umar bin al-Khattab (584 M – 644 M)
3.       Utsman bin Affan  (577 M – 656 M)
4.       Ali bin Abu Thalib ( 600 M – 661 M )             
5.       Abdullah bin Mas’ud ( w.625 M )                    
6.       Abdullah bin Abbas ( w. 687 M )
7.       Ubai bin Ka’b ( w. 642 M )
8.       Zaid bin Tsabit ( 611 M – 655 M )
9.       Abu Musa al-Asy’ari
10.   Abdullah bin Zubair
Empat orang diantaranya menjadi khalifah Rasul. Keempatnya dinamai Khulafa’ur Rasyidin. Dari keempat orang ini, Ali bin Abi Tholib tercatat sebagai yang paling banyak menafsirkan al-qur’an. Sedangkan Abu Bakar, Umar bin Khotob dab Utsman bin Affan sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun, di antara sepuluh sahabat di atas, Ibnu Abbas adalah sahabat yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam pengetahuannya mengenai tafsir al-Qur’an. Rasululloh SAW pernah mendo’akan sahabat ini sebagai berikut :
Ya Allah, berikanlah pemahaman keagamaan kepadanya (Ibnu Abbas) dan ajarkanlah tafsir kepadanya.”
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, banyak riwayat tafsir yang disandarkan begitu saja kepada Ibnu Abbas, bahkan tidak kurang pula jumlahnya orang yang sengaja memalsukan riwayat atas nama sahabat besar ini. Ada pula yang sengaja mencampuradukkan antara perkataannya dan perkataan Ibnu Abbas. Oleh karena itu, Imam Syafi’i pernah mengeluarkan pernyataan tentang tafsir al-qur’an yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yaitu ”Riwayat dari Ibnu ’abbas tentang tafsir itu tidak ada yang kuat kecuali berjumlah sekitar 100 hadits”.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan Tafsir pada masa sahabat. Perbedaan penafsiran telah terjadi di zaman sahabat, meskipunperbedaan mereka ini relatif lebih sedikit dibanding dengan perbedaan yang terjadi di masa tabi’in dan sesudahnya. Perbedaan sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an lebih dikarenakan ketidaksamaan mereka dalam menguasai piranti-piranti yang digunakan untuk memahami al-Qur’an sebagai berikut;
a.    Tata bahasa Arab dan rahasia-rahasianya. Ia membantu memahami ayat-ayat yang pemahamannya tidak bergantung pada bahasa selain bahasa Arab.
b.    Pengetahuan tentang berbagai kebiasaan masyarakat Arab. Ia membantu memahami ayat yang berhubungan dengan kebiasaan mereka.
c.     Pengetahuan tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab waktu turunnya al-Qur’an, khususnya untuk memahami ayat-ayat yang mengandung isyarat tentang perbuatan mereka dan bantahan terhadap mereka.
d.    Kekuatan pemahaman dan penalaran. Ini adalah karunia Allah SWT yang sebagian hamba diberi lebih baik oleh Allah SWT dari pada hamba yang lain.
e.    Di antara sahabat ada yang selalu menyertai Nabi Muhammad SAW sehingga ia banyak mengetahui asbabun nuzul yang tidak diketahui oelh sahabat lain. Alasannya adalah karena penafsiran al-Qur’an itu tidak bisa dilepaskan dari konteks turunnya.
C.        Deskripsi Sejarah Tafsir Al-Qur’an Periode Tabi’in
Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Kemudian dimulailah periode kedua tafsir yaitu periode tabi’in yang belajar langsung dari sahabat.
Adapun sumber-sumber tafsir periode Tabi’in adalah :
1. al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW
2. Pendapat Sahabat
3. Informasi ahli kitab yang bersuber dari kitab-kitab suci 
4. Ijtihad Tabi’in
Dalam hal ini, ulama berbeda dalam menyikapi penafsiran tabi’in ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW atau
Piranti-piranti yg digunakan untuk    memahami alqur’an :
a.       Tata bhs arab
b.      Pengetahuan ttg kebiasaan masyarakat arab.
c.       Pengetahuan kondisi Yahudi dan Nasrani waktu turunnya al-qur’an
d.      Kekuatan pemahaman dan penalaran
e.      Mengetahui asbabun Nuzul
Sahabat. Secara garis besar, ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabi’in; menerima atau menolak. Alasan ulama menolak adalah bahwa tidak ada kemungkinan seorang tabi’in mendengar langsung dari Rasulullah SAW, berbeda dengan penafsiran sahabat yang bisa jadi ia mendengarnya dari Rasulullah SAW. Juga karena mereka tidak menyaksikan berbagai kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an, sehingga bisa jadi mereka salah dalam memahami maksud, dan menduga sesuatu yang bukan dalil sebagai dalil. Selain itu status adil para tabi’in tidak dinaskan, berbeda dengan status adil para sahabat. Diriwayatkan dari abu Hanifah bahwa ia berkata, ”Apa yang datang dari Rasulullah SAW, maka kami terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka kami pilah-pilah. Dan, apa yang datang dari tabi’in, maka sejatinya mereka itu manusia dan kamipun manusia”.
Namun, mayoritas mufasir berpendapat bahwa ucapan tabi’in dalam bidang tafsir itu dapat diterima sebagai acuan, karena para tabi’in itu menukil sebagian besar penafsiran mereka dari para sahabat.
Mujahid, misalnya, berkata, ”Aku membaca mushaf di hadapan Ibnu abbas sebanyak tiga kali, dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakannya.”
Periode kodifikasi tafsir dimulai sejak munculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan awal masa Bani Abbasiyah. Untuk itu, ada beberapa tahapan yaitu :
Pertama, tafsir ditransfer melalui periwayatan: sahabat meriwayatkan dari Rasululloh SAW, sebagaimana sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain; lalu tabi’in meriwayatkan dari sahabat.
Kedua, setelah masa sahabat dan tabi’in, tafsir memasuki tahap kedua, yaitu ketika hadits Rasululloh SAW mulai dibukukan. Buku-buku hadits memuat banyak bab, dan tafsir merupakan salah satu bab yang termuat dalam buku-buku hadits. Pada waktu itu, belum ada karangan khusus tentang tafsir, ayat demi ayat, dari awal hinggaakhir. Para penulis tafsir pada tahap ini diantaranya : Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki bin Jarah, dll.
Ketiga, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadits, sehingga ia menjadi ilmu tersendiri. Setiap ayat dalam al-Qur’an diberikan penafsiran, dan disusun sesuai susunan mushaf.
Keempat, pada tahap ini para penulis tafsir tetap berpegang pada metode bil ma;sur, namun ada perubahan dari segi sanad, di mana para penulis meringkas sanad dan menulis berbagai pendapat yang diriwayat kan dari para mufasir pendahuu mereka tanpa menisbatkan pendapat tersebut kepada orang yang mengemukakannya. Maka, terjadilah banyak pemalsuan dalam tafsir, riwayat sahih bercampur   dengan riwayat cacat, dan pencantuman, israiliyyat dengan asumsi bahwa itu merupakan kebenaran yang pasti.
Kelima, terjadinya penulisan tafsir yang mencampuradukkan antara pemahaman rasional dan tafsir naqli setelah sebelumnya penulisan tafsir terbatas pada riwayat dari salah saja. Hal ini berlangsung sejak masa Abbasiyah hingga hari ini.
D.        Deskripsi Sejarah Tafsir Al-Qur’an Periode Tadwin (Pembukuan)
Sejarah al-Qur’an periode pembukuan pada masa Rasululloh SAW, walaupun secara pribadi tidak pernah menulis al-Qur’an dikarenakan tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi sangat kuat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca tulis. Para tawanan perang badar yang pandai menulis oleh Rasululloh SAW diminta untuk mengajar para sahabat sebagai tebusan bagi kemerdekaan diri mereka. Selain itu, juga telah ada beberapa sahabat yang pandai baca tulis jauh sebelum mereka masuk Islam. Sahabat-sahabat yang telah pandai baca tulis inilah yang aktif menuliskan wahyu untuk Rasululloh SAW. Setiap kali Rasululloh SAW menerima wahyu, para penulis itupun segera dipanggil untuk menulis dan mencatatnya di samping sahabat-sahabat yang menghafalnya.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW memiliki juru tulis khusus. Menurut M.M. Azmi ( ahli sejarah ) dalam bukunya Kitab an-Nabi ada sejumlah 48 orang sahabat penulis al-Qur’an. Diantara mereka yang paling terkenal ialah Zaid bin Sabit. Sebelum Rasululloh SAW wafat, al-Qur’an secara keseluruhan telah rampung penulisannya dengan urutan surah-surah dan ayat-ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW sendiri. Penulisannya di masa itu masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, seperti pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang, sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu kumpulan.
Di masa Abu Bakar as-Sidiq diadakan penulisan ulang al-Qur’an dengan memakai lembaran-lembaran kertas atau suhuf. Lembaran-lembaran atau suhuf yang bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an itu kemudian diikat dengan benang sehingga membentuk satu mushaf (kumpulan lembaran).
Sampai kepada bentuk mushaf Ustmani, tulisan al-Qur’an tetap memakai huruf-huruf kufi (huruf-huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris). Namun, hal ini tidak mempengaruhi pembacaan al-Qur’an  karena umumnya sahabat adalah orang-orang yang fasih dalam bahasa arab, bahkan kebanyakan mereka menghafal al-Qur’an dengan lancar. Akan tetapi setelah semakin banyak orang-orang non arab memeluk Islam, timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan al-Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaannya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda-tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan kekacauan di kalangan umat Islam.
Menanggapi keadaan ini Abu al-Aswad ad-Duwali, salah seorang pemuka tabiin di zaman Mu’awiyah bin Abu Sufyan, mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam al-Qur’an dengan tinta yang erlainan warnanya dengan tulisan al-Qur’an. Tanda-tanda itu berupa titik. Titik yang diletakkan di atas huruf menandakan baris fatah (bunyi a), titik di bawah menandakan baris kasrah (bunyi i ), titik sebelah kiri menandakan baris dhomah (bunyi u), dan titik dua menandakan tanwin (bunyi nun mati). Namun karena tanda-tanda baca ini hanya diberikan pada huruf terakhir dari suatu kata maka penempatan tanda-tanda baca itu belum banyak menolong bagi orang awam.
Usaha perbaikan tulisan al-Qur’an selanjutnya dilakukan oleh Nasir bin Asim dan Yahya bin Ya’mur di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Keduanya menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan al-qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara titik Abu al-Aswad ad-Duwali adalah untuk tanda baca titik yang dibuat Nasir bin Asim adalah titik yang menandakan huruf. Dengan adanya titik huruf ini mudahlah dibedakan huruf-huruf ba,ta,sa, dan ya dalam pembacaan. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah sampai pada permulaan Dinasti Abbasiyah, bahkan tetap dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad ke 4 H.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun, para ahli qiraah menambahkan lagi berbagai tanda di dalam tulisan al-qur’an, seperti membuat tanda-tanda di dalam tulisan al-qur’an,
seperti membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca) serta tanda-tanda ibtida (memulai membaca), dan menerangkan identitas surat di awal setiap surah, seperti nama surah, tempat turunnya, dan jumlah ayatnya. Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan al-Qur’an adalah tanda pemisah antara satu juz dan juz lainnya, berupa kata juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya jus 3), dan tanda hizb untuk membedakan antara satu hizb dan hizb lainnya (misalnya hizb 3). Tiap-tiap tanda kemudian dibagi ke dalam empat bagian. Perempat pertama dari hizb memakai tanda ar-ruv, perempat kedua memakai tanda nisf, dan perempat ketiga memakai tanda as-salasah.
(Mushaf ustmani)
Disamping itu dibubuhkan pula tanda-tanda lain yang semuanya dimaksudkan untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan al-Qur’an. Sebelum ditemukan mesin cetak, al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke 16, ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al-qur’an pertama kali dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694. Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini mempermudah umat Islam memperbanyak mushaf al-Qur’an. Mushaf al-qur’an yang pertama dicetak oleh kalangan Islam sendiri ialah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia. Lalu diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia (iran) tahun 1838, dan Istanbul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang orientalis Jerman, Fluegel, menerbitkan al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat. Terbitan al-qur’an itu dikenal dengan edisi Fluegel yang banyak digunakan oleh para orientalis dari berbagai generasi. Akan tetapi, edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat besar, yaitu sistem penomoran ayatnya tidak sesuai dengan sistem yang digunakan dalam mushaf standar (mushaf usmani). Mulai awal abad ke -20, pencetakan al-Qur’an dilakukan di dunia Islam sendiri. Pelaksanaanya mendapat pengawasan ketat dari para ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak dalam pembukuan al-Qur’an.
Mushaf al-qur’an yang pertamadicetak oleh kalangan Islam sendiri ialah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Petersburg, Rusia.
KESIMPULAN
1.    Deskripsi Sejarah Tafsir Al-Qur’an Periode Nabi Muhamad SAW. tafsir al-Qur’an pada dasarnya diturunkan secara berangsur-angsur tidak seluruh ayat yang diturunkan kepada Rasululloh SAW dapat dipahami dengan mudah oleh para sahabat. Beliaulah yang menerangkannya berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah SWT, kemudian menjelaskannya dengan bahasa beliau sendiri.
2.    Deskripsi Sejarah Tafsir Al-Qur’an Periode Sahabat, Sejarah tafsir al-qur’an pada masa sahabat ada perbedaan yang segnifikan dengan pada masa Rasulullah SAW dikarenakan pada sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis besar.
3.    Sejarah al-Qur’an periode pembukuan pada masa Rasululloh SAW, walaupun secara pribadi tidak pernah menulis al-Qur’an dikarenakan tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi sangat kuat mendorong sahabat-sahabatnya untuk belajar baca tulis.
4.    Periode kodifikasi tafsir dimulai sejak munculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan awal masa Bani Abbasiyah. Untuk itu, ada beberapa tahapan yaitu :
Pertama, tafsir ditransfer melalui periwayatan: Kedua, setelah masa sahabat dan tabi’in, tafsir memasuki tahap kedua, yaitu ketika hadits Rasululloh SAW mulai dibukukan. Ketiga, setelah itu tafsir memisahkan diri dari hadits, sehingga ia menjadi ilmu tersendiri. Setiap ayat dalam al-Qur’an diberikan penafsiran, dan disusun sesuai susunan mushaf. Keempat, pada tahap ini para penulis tafsir tetap berpegang pada metode bil ma;sur, Kelima, terjadinya penulisan tafsir yang mencampuradukkan antara pemahaman rasional dan tafsir naqli setelah sebelumnya penulisan tafsir terbatas pada riwayat dari salah saja. Hal ini berlangsung sejak masa Abbasiyah hingga hari ini.
5. ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir, yaitu
1.Abu bakar as-Siddiq (573 M – 634 M)2. Umar bin al-Khattab (584 M – 644 M) 3. Utsman bin Affan  (577 M – 656 M) 4. Ali bin Abu Thalib ( 600 M – 661 M ) 5. Abdullah bin Mas’ud ( w.625 M ) 6. Abdullah bin Abbas ( w. 687 M ) 7. Ubai bin Ka’b ( w. 642 M ) 8. Zaid bin Tsabit ( 611 M – 655 M ) 9. Abu Musa al-Asy’ari    10. Abdullah bin Zubair
Tulisan lainnya :
Chat WhatsApp
error: Mohon maaf, copy paste tidak diperkenankan !!